Tetangga-tetangga itu…

Saya bukan termasuk orang yang gampang beradaptasi dengan lingkungan baru, jadi kudu usaha ekstra keras agar bisa ber-haha-hihi akrab dengan orang yang baru saya kenal. Tapi sejak mempunyai rumah sendiri *iya, iya, emang belum lunas* πŸ˜† saya menemukan bahwa ternyata, hidup bersama-sama dengan tetangga yang baik itu… anugrah!

Jadi nih, selain lingkungan yang (lumayan) aman dan nyaman, salah satu hal yang membuat kami betah tinggal di komplek rumah kami sekarang adalah karena kami beruntung mempunyai tetangga-tetangga yang baik, tulus, perhatian dan nggak pernah rese’ ngurusin urusan orang -kecuali diminta- dan bisa diandalkan. Saya tahu tetangga kami bisa diandalkan, ketika suatu hari, salah seorang dari mereka menelpon saya di kantor ‘hanya’ untuk menanyakan siapa orang tak dikenal yang masuk ke dalam rumah kami—> waktu itu pintu rumah sengaja nggak dikunci supaya tukang air langganan bisa leluasa beresin pompa air yang ngadat.

gambar minjem dari sini

gambar minjem dari sini

Dari sejak pindah ke rumah ini di akhir 2005 lalu (ya ampun, saya kok lupa kapan persisnya kami pindah, ya? *payah* ) sampe detik ini, alhamdulillah kami nggak pernah mempunyai masalah dengan para tetangga. Saya belajar bahwasannya, menegur ibu-ibu yang ketemu di tukang sayur itu, sama pentingnya dengan mengangguk sopan pada big boss ketika papasan di koridor kantor. Bukan cuma sekedar supaya dikenal, tapi ternyata ada banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari pertemuan ‘informal’ macem itu. Coba, kalo bukan dari obrolan ibu-ibu, mana saya tahu, kalo ternyata ada ART yang tega memfitnah majikannya, ngecap disana sini kalo gajinya nggak dibayar berbulan-bulan; trus mana saya tahu, kalo ternyata ada tetangga beda blok yang nyinyir sama tetangga yang beli mobil baru? Ngapain nyinyir sih, Bu? Ikutan beli, dong. Gitu aja kok repot! πŸ˜† Lalu, darimana saya tahu, ada tetangga yang suaminya stroke trus terlambat dibawa ke RS karena istrinya nggak bisa nyetir DAN nggak berani minta tolong ke tetangga kanan kiri karena ngerasa nggak kenal. Mana pula saya tahu, kalo ternyata ada tetangga jauh saya, yang (katanya) jadi istri ke sekian-nya pejabat? Coba….? Aih, pelajaran apaan? Yang terakhir itu mah gossip pisan, Fit! πŸ˜†

Kehidupan sosial di lingkungan rumah kami sejauh ini memang berjalan sangat baik. Sebulan sekali ada arisan ibu-ibu se-blok yang mana pas bulan kemaren saya dapet, duitnya dipake buat beli sepeda baginda raja aja, gitu! πŸ˜† bapak-bapaknya rajin ketemuan di mesjid dan ngobrol banyak hal yang penting dan nggak penting anak-anak akrab main bareng, pokoknya semua menyenangkan. Kami pernah ngumpul bareng di Pondok Aki-Enin, pernah juga main ke Puncak, ngumpul bakar-bakar ikan/bebek/ayam pas tahun baru di jalan depan rumah, dan itu seruuuu banget! πŸ™‚

Keseruan itu menutup kekurangan yang (kadang) terjadi, kayak semacem ada tetangga pengontrak yang seenak udelnya sendiri parkir DI DEPAN PINTU MASUK rumah kami -padahal carport di rumahnya juga kosong- trus pas saya samperin, eh si ibunya jutekkin saya, macem saya ini orang yang mau minta sumbangan saja! *lempar pager besi* πŸ˜† atau kurang bagusnya saluran air yang kalo di musim hujan begini, otomatis banyak genangan air dimana-mana *manyun ke developer* ataupun kurangnya koordinasi antar blok, sampe-sampe di jalan utama mereka bikin polisi tidur tiap 2 meter YANG SUMPAH BIKIN SENEP gegara tinggi dan ukurannya nggak kira-kira. *manyun ke pak RW* :mrgreen:

Tapi semua masih bisa ditolerir, kok. Banget.

Sampe…. awal bulan kemaren, mendadak *ada hujan dan anginnya kenceng, maklum musim penghujan* #dibahas πŸ˜† tetangga sebelah rumah saya persis, sebut saja Bu L, pamitan ke saya.. mau pindah rumah. Dan saat beliau pamitan itu, semuaaaa barang-barang di rumahnya udah diangkutin pake truk. Haaahhhh…? Saya syok, tentu.Β  Lah, bulan kemaren pas kami arisan aja, beliau nggak bilang apa-apa. Kaget banget dong. Apalagi hubungan kami selama ini baiiiikkkk sekali. Sering kirim-kiriman makanan, A3 sering nebeng main di rumah mereka, pun begitu sebaliknya. Pokoknya nggak ada tanda-tanda sebelumnya kalo mereka mau pindah rumah.

Tapi ya sudah lah, nggak usah dibahas masalah itu. Saya hormati apapun alasan mereka, karena kan katanya setiap keluarga punya masalah sendiri, dan siapa saya kan ya, boleh ikut campur dalam urusan pribadi mereka?

Yang kemudian saya prihatin, kepindahan mereka ternyata meninggalkan kesan yang kurang.. ehm.. apa ya? Kurang baik. Begitu-kah istilahnya, kalo ternyata ada beberapa tetangga yang merasa Bu L dan keluarganya kurang ‘sopan’ karena pindah nggak bilang-bilang ke tetangga-tetangganya yang lain?

Iya, saya tahu. Emang itu kan hak mereka, mau pindah atau tetap tinggal. Mau jual rumahnya, apa mau dikontrakkin. Mau pindah-nya pamitan ke tetangga, apa nggak. Iya, iya. Itu hak mereka. Cuma, kalo dipikir-pikir lagi… akhirnya ada pertanyaan yang tetap menggantung: kenapa?

Kenapa pindah?

Kenapa nggak ngasih tahu dulu?

Kenapa nggak pamitan? —> saya dipamitin, karena rumah kami berdampingan. Begitu kata ibu-ibu yang lain.

Ehem. Oke.

β€œSembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36)

sumber dari sini

Waktu di arisan minggu kemaren ibu-ibu ngomongin masalah ini, saya nggak bisa komentar apa-apa. Karena beneran nggak ngerti musti ngomong apa. Well, bukannya mau ngebelain Bu L sih, ya. Cuma kan masa’ iya, hujan sehari menghapus musim kemarau setahun? Atau terang sehari menghapus musim hujan sebulan? Sudah 8 tahun lebih loh, kami saling berinteraksi dengan (sangat) baik. Masa’ cuma karena Bu L pindah ‘nggak bilang-bilang dan nggak pamitan’ trus tetangga-tetangganya otomatis lupa sama semuaaaa kebaikannya? Ya sopan santunnya, ya ringan tangannya saat membantu tetangga yang membutuhkan, ya ide-ide cemerlangnya, ya kepeduliannya ke anak-anak tetangga yang nggak diperlakukan secara tidak baik sama ART-nya…

Rasanya… nggak adil.

Meskipun dalam hati kecil akan selalu ada pertanyaan “kenapa” seperti yang saya tulis diatas, tapi… kan balik lagi ke: siapa saya? Siapa kami? Iya, kan? Segala macam kemungkinan jawaban dari pertanyaan “kenapa” itu biarlah jadi bahan obrolan saya dengan Baginda Raja, sahabat terpercaya yang bisa diajak nggosipin eh, ngobrolin apa aja itu. πŸ™‚

Satu hal yang saya pelajari dari ‘tragedi’ (tragedi? oh, jangan berlebihan deh, Bu! πŸ˜† ) kepindahan keluarga Bu L adalah, bahwa ternyata perlu konsistensi untuk menjaga sikap dan tingkah laku kita di tengah-tengah masyarakat. Bahwa sekuat apapun usaha kita untuk menjaga perilaku kita, ada hukum tak tertulis yang mau nggak mau, suka nggak suka ternyata bisa menghakimi kita begitu saja, mungkin bahkan tanpa kita sadari keberadaannya.

Ah, dasar manusia…

Eh. Dasar saya…. :mrgreen: