Oleh-oleh mudik: beberapa catatan

Saya pernah baca beberapa nasehat dari Imam Al Ghozali (dalam urutan bolak-balik) yang kurang lebihΒ  berbunyi begini:

  • yang besar adalah hawa nafsu;
  • yang jauh adalah masa lalu;
  • yang berat adalah memegang amanah;
  • yang ringan adalah meninggalkan sholat;
  • yang sulit adalah ikhlas;
  • yang mudah adalah berbuat dosa;
  • yang susah adalah bersabar (kok, kalo yang 1 ini kepala saya ngangguk-ngangguknya kenceng banget, ya? πŸ˜† )
  • yang sering lupa adalah bersyukur;
  • yang singkat adalah waktu;
  • yang menipu adalah dunia;
  • yang dekat adalah kematian.

Jadi, selain keluh kesah saya di postingan mudik sebelumnya, saya mau share beberapa catatan saya selama perjalanan mudik Bandung-Banjarnegara kemaren:

1. Yang dekat adalah kematian.

Hari sabtu (10 Agustus 2013) lalu, saya pergi bersilaturahim ke rumah kakak ibu saya (pakdhe) yang rumahnya di Cilacap. Pulang sekitar jam setengah 2 siang, perjalanan kami tersendat di daerah Krukut Banyumas. Beberapa menit kemudian kami baru tahu, telah terjadi kecelakaan bis KaryaSari yang menewaskan 15 orang (termasuk 4 anak 😦 ) Dan lalu saya jadi ingat dengan quote diatas itu tadi. Yang dekat dengan kita memang kematian. Iya, maut memang Allah yang mengatur. Sudah ditentukan, kapan kita akan dipanggil kembali ke pangkuanNYA. Dan itu kan memang salah 1 rahasia BELIAU YANG MAHA BESAR, jadi tidak mungkin ada manusia yang bisa menebak, kapan malaikat maut akan datang menjemput. Tapi membayangkan seandainya saja kami satu jam lebih cepat sampai di TKP, bukan tidak mungkin kami lah yang jadi korban. Saya inget anak2 yang meninggal di kecelakaan itu. Hiiiiyyy, bulu kuduk saya meremang. 😦 Lalu sekali lagi, saya harus mengingatkan diri sendiri untuk sering-sering mengucap hamdallah, atas nikmat ALLAH yang mungkin tanpa disadari sedang diturunkan pada saya.

2. Wanita wajib perlu bisa masak (???)

Sebelumnya, mohon maaf kalo nanti ada yang rada kesinggung dengan paragraf yang ini. Punteeenn, tak ada maksud menyindir siapapun, wong soal per-dapur-an saya juga masih AMATIR, pake BANGET deh, pokoknya! πŸ™‚

Jadi, ada salah seorang sodara saya (sodara ya, bukan kakak, bukan adik. Biar aman saya nggak akan sebut korelasinya dengan saya, deh. Takut yang bersangkutan baca. Haha!) Sodara saya ini, ibu-ibu, sebut saja Bu H, umur sudah 50 tahun lebih. Beliau wanita karier. Penampilan keibuan banget. Cantik, ramah, bicaranya santun, lembut, dan sholehah. Tipikal ibu-ibu idaman banget, lah. Dan setelah bertahun-tahun ini, saya baru tahu, Beliau TER-NYA-TA nggak bisa masak, SAMA SEKALI. Lebaran tahun ini, beliau pesen ketupat dan opor ayam ke salah satu rumah makan, dan kemaren saya baru tahu, hal ini sudah jadi rutinitas beliau DARI DULU. Oke, sampe sini saya nggak mau komen lebih banyak, apalagi yang negatif.

Catatan buat saya pribadi, saat musim lebaran, dimana semua anak-cucu-menantu kumpul dan ngariung, apa sih yang bikin suasana makin komplit, kalo bukan masakan si nyonya rumah? Ibu saya, di umurnya yang 70 tahun ini, selalu dirindukan semua anak-cucu-menantu karena beliau punya banyak sekali masakan andalan. Yang terfavorit tentu saja mendoan panas yang dimakan sama cabe rawit. Lalu pecel yang rasanya TOP markotop. Terus kayak kemaren beliau masak 12 ekor gurame asam manis yang enak sampe ke kepala-kepalanya (ini pasti Baginda Raja setuju banget). Dan lalu beliau juga punya resep mendut, kue tradisional Jawa yang bahan utamanya (kalo nggak salah) tepung beras diisi sama enten-enten, gula jawa dan kelapa yang cihuyyyy banget, Resep ini sudah diturunkan kepada mbak Titi, kakak pertama saya. Dan lebaran tahun ini beliau dong yang kebagian bikin mendut… 6 kg aja loh, kakaaakkkk! πŸ˜†

Di Cirebon, saya selalu merindukan opor ayam bikinan my dearest mother in law (karena saya nggak makan daging sapi, jadi cuma opor ayam ini yang masuk ke perut saya kalo berlebaran disana πŸ™‚ ) lalu udang masak kemiri (yang resepnya udah berhasil saya warisi dong, haha, bangga! ) lalu tempe masak cabe ijo yang nampooollll banget, dan semua masakan beliau itu SELALU dikangenin anak-cucu-mantu2nya.

Menurut saya, makanan itu ibarat warisan. Ada nilai historis dan nostalgia disitu. Juga cerita, juga kenangan masa kecil, juga sentimentil pribadi yang nggak bisa dibangun dalam sekejap mata. Semua memiliki makna karena telah menjadi bagian penting dari masa lalu, dan selamanya terpatri rapi di dalam memori, dan bahkan mungkin, di alam bawah sadar kita. Masih inget kan, detail wangi, aroma dan rasa makanan ibu/nenek di masa kecil dulu, yang kemudian sangat kita rindukan saat pulang ke kampung halaman…? πŸ™‚

Catatan penting (again, untuk saya pribadi): perempuan perlu banget bisa masak. Se-enggak enak-enaknya masakan, kalo disajikan dengan penuh kehangatan dan cinta (cie, cie, cinta nih yeee..? πŸ˜† ) in shaa allah nyampenya ke perut yang makan : pasti enak. πŸ˜€

Jadi, seus… mari latihan masak! Jangan takut nggak enak. Lebih baik nggak enak sekarang, tapi syedappp di masa yang akan datang. Learning by doing. Nggak mau kan, nanti anak-cucu-mantu makan ketupat dan opor lebaran dapet beli di warung makan? *ngetik di depan kaca* :mrgreen:

Note: plissss, jangan ada yang tersinggung ya. Paragraf yang ini bener-bener subjektif sekali, loh! πŸ™‚

3. Dunia Pendidikan: (masih) sebuah ironi?

Sebut saja keponakan saya ini, A. Saya pake inisial karena saya belum minta persetujuannya, mau ceritain tentang tragedi yang dia alami di kampusnya. A adalah mahasiswa Teknik Sipil di Unsoed Purwokerto (saya nggak mau pake inisial nama kampusnya, wong kenyataannya emang terjadi disana) Bulan Maret 2013 kemaren, A ikut sidang skripsi, dan udah daftar untuk diwisuda bulan April 2013. Saya nggak tahu persis tanggal sidang dan tanggal wisudanya. Pokoknya jarak sidang dan wisuda itu sekitar sebulan doang. Nah. Euforia keluarga udah pasti terasa dari sejak si A ini nyusun skripsi, lalu sidang dan dinyatakan lulus, tinggal eksekusi wisuda. Namun entah ada badai apa, tetiba si A dinyatakan masih mempunyai 1 mata kuliah lagi yang belum diambil, jadi nggak bisa ikut wisuda.

Oke. Masih belum ngerasa aneh? Coba yang ini: A ‘dipaksa’ untuk menandatangani surat pengunduran diri dari Unsoed. Masih kurang aneh? Coba lagi ini: A harus meneruskan 1 mata kuliah yang belum diambil itu DI PERGURUAN TINGGI LAIN di Purwokerto, BUKAN di Unsoed lagi. Alasannya? Nggak jelas. Sebut saja saya tante yang membabi buta membela keponakan. Tapiiiiiii…. setahu saya, yang namanya mahasiswa ngajuin skripsi DAN sudah maju SIDANG, DAN sudah dinyatakan lulus, HARUSNYA sudah tidak mempunyai beban yang sifatnya administratif, termasuk didalamnya hutang mata kuliah. Artinya, semua mata kuliah HARUSNYA sudah terpenuhi, kan? Oke lah, mungkin (liat ya, saya masih tulis MUNGKIN) ada andil salah ponakan saya disini, karena dia nggak nyadar ada 1 mata kuliah yang belum dia ambil. CMIIW, tapiiiii… bukannya ada juga andil pihak kampus (bagian TU, mungkin?) yang nggak teliti sampe ‘meloloskan’ mahasiswa ngajuin skripsi dan maju sidang, padahal masih ada mata kuliah yang belum dipenuhi? Trus kenapa juga harus disuruh mengundurkan diri? Si A waktu itu mau aja disuruh tanda tangan, karena ketakutan semua nilai yang sudah dia punya selama kuliah di Unsoed nggak bisa dikonversikan ke PT yang baru itu. 😦

Saya pengen teriak saking marahnya pas diceritain hal ini. Mana kejadiannya udah lama pula, bulan April kemaren. Nasi sudah menjadi bubur. Mau ngadu kemana kita juga nggak tahu. Dekan dan Rektor katanya juga lagi kesandung masalah korupsi, jadi nggak bisa diharapkan bantuannya. Ke pengacara? Polisi? Diknas? Sorry to say, walopun saya PNS, tapi saya masih belum percaya sepenuhnya dengan hukum dan birokrasi di negara yang (katanya) tercinta ini.

Saya cuma pengen ngeluarin unge-uneg, mewakili kakak saya, ibu si A, yang ‘cuma’ seorang guru SD di kampung sana, yang sertifikasinya saja baru turun pertengahan tahun 2013 ini. Bapaknya, kakak ipar saya, juga guru SMP yang penghasilannya kurang lebih sama segitu-gitu-nya. Saya yang jadi saksi hidup, bagaimana orangtua si A ini hidup kembang kempis demi supaya anak sulungnya bisa kuliah di Teknik Sipil. Bayar kuliah, kost, dan biaya hidup yang nggak murah, selama kurun waktu 6 tahun lebih. Masih bersyukur lah, mereka itu hidup di kampung, belum ada kontaminasi hidup hedon, jadi gaji sejuta-dua juta juga masih bisa maksain untuk nguliahin anaknya, dengan konsekuensi hutang disana sini. Saya miris sekali. πŸ˜₯

4. Anak-anak makin besar, kita makin tua, begitu pun ibu kita.

Silaturahim ke rumah Pakdhe saya di Cilacap pas H+2 Lebaran itu sebenernya sekalian nengok Pakdhe saya yang udah 8 bulan lebih koma. Beliau ini dulunya seorang tentara, nggak pernah sakit, sehat, fit, pokoknya nggak ada keluhan kesehatan sama sekali. Mendadak di tahun 2011 beliau kena stroke, lalu tahun 2012 kena stroke yang kedua, dan sekarang berakhir koma di atas tempat tidur di rumahnya. Saya sedih liatnya. Sedih liat padhe, sedih liat budhe, juga sedih liat anak-anaknya, yang meskipun telaten merawat pakdhe, tapi kan kebayang kayak gimana beban psikis yang mereka pikul, liat bapaknya tergeletak tak berdaya begitu. 😦

Umur pakdhe dan ibu saya ini terpaut 4-5 tahun, gitu. Ibu saya juga nggak terlalu hapal. Tapi yang jelas, ibu kelahiran 05 Desember 1943, jadi umur beliau sekarang udah hampir 70 tahun. Yang bikin saya sedih, waktu kita lagi ngobrol soal kondisinya Pakdhe, tetiba ibu nyeletuk begini, “nggak tahu juga nih. Tinggal berapa tahun lagi ‘jatah’ (hidup) ibu…?”

Dan saya, juga mas Imam (kakak laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan Ibu) langsung buru-buru memotong: “eh, jangan bilang begitu dong, Mbah. (sapaan anak-anak kami ke ibu saya). Yang penting Mbah harus jaga kesehatan dari sekarang. Harus PD Mbah bakal sehat terus, sampe nanti Andro nikah, trus Andro punya anak, trus sampe mbak Adiba (anaknya mas Imam) juga nanti punya suami… terus…. bla, bla….” saya nyerocos sampai mulut berliur-liur dengan niat menguatkan hati beliau, apadaya hati saya justru mencelos, dan mata saya tetiba jadi berair. Huhuhu… πŸ˜₯

Iya, saya sadar, anak-anak sudah makin besar, dan saya makin tua. Hanya saja, saya seringkali lupa, ibu saya juga bertambah tua.

………………………………………………………….. πŸ˜₯ ………………………………………………

Oke. Sudah cukup membahas yang sedih-sedih. Untuk penutup, boleh ya saya pajang foto-foto narsis saya selama mudik kemaren? Sebagian besar udah di pamer share di Instagram saya sih, tapi nggak papa ya, dipamerin lagi dimarih? Oh ya, buat yang punya akun di IG, kita ketemuan yuk. Temukan saya ya, @bagindaratu. Haha, UUP-ujung2nya promo- Eh, boleh dong? Kan promo di blog sendiri. *yakali* πŸ˜† Dan percayalah, kalo temen blogger yang mem-follow, udah pasti akan saya follow balik. Kalo yang jualan-jualan.. baru deh.. saya pilih-pilih. Huahaha… *no spamming* πŸ˜†

mudik8

Minggu, 04 Agustus 2013, @ RM Mergosari Cikoneng, Ciamis: jam 05 sore lebih dikit. Setelah macet parah, akhirnya si sopir tembak nggak kuat juga, teparrrr beliau sambil nungguin bedug maghrib. Biar anteng, A3 disetelin Despicable Me, dan ibunya nunggu adzan sambil… online! πŸ˜€

mudik7

Senin, 05 Agustus 2013, @ warung bakso Olala: panas terik, dan bapak ibunya cuma bisa ngiler liat mereka makan bakso dan fruit tea dingin. Kalian tega sekaliiiii…!

mudik6

Selasa, 06 Agustus 2013 @ mesjid Agung Banjarnegara: menyambangi 3 kakak saya dari ibu yang pertama. Si sulung dong, udah nggak mau ikut. Terpikat doski, sama game PS kakak sepupunya. πŸ™‚

mudik3

Rabu, 07 Agustus 2013, @ Alun-alun Banjarnegara: H-1, nyari-nyari kue kering buat suguhan tamu ibu saya. Alun-alun ini jadi satu-satunya tempat main favorit A3 selama mudik kemaren. Di Banjar nggak ada mall, kakaakkk..! Tapi saya suka dengan pohon2 rindangnya, dan macem-macem persewaan mobil2an, skuter dan kereta api disini murmer, ibunya syeneengggg…! πŸ™‚

mudik2

Minggu, 11 Agustus 2013: @ warung bakso Olala: Setelah seminggu di kampung halaman, di hari terakhir mudik AKHIRNYA bisa ngebakso juga. Sekalian main ke alun2, trus hunting oleh-oleh buat dibawa ke Bandung, pulangnya melipir dulu kemari.

mudik4

Minggu, 11 Agustus 2013, @ Alun2 Banjarnegara: sebulan puasa cuma turun 2 kg, seminggu mudik berasa langsung naik 5 kg! *gigit mendoan*

mudik5

Minggu, 11 Agustus 2013, @ jalan kampung: meninggalkan kampung halaman, sedih ninggalin ibu, sedih ninggalin kakak2 dan adik, ponakan2, sedih ninggalin pecel, sedih ninggalin mendoan… πŸ™‚

Dan setelah liat lagi foto-foto diatas, saya baru nyadar: ini foto baginda raja mana, yaaaa…??? Huahaha…. ampun, mas sayang! Kamu kok pasti ketinggalan aja, sih?Β  #sungkem lagi #mumpung masih syawal :mrgreen: