Profesi di masa depan

01 September 2013. @ Hypermart Metro Indah Mall: negosiasi mengenai mobil-mobilan mana yang boleh diambil. Negosiasi yang alot, tentu saja. Ada yang pengen 2, ada yang minta 3, bahkan ada yang pengen semuanya! Aih, mana bisa begitu? Ambil 1, atau tidak sama sekali! Oh yes, Nak. Selagi kalian masih numpang makan-tidur-main di rumah kami, kalian deh ya, yang musti ngikut aturan kami..! Huahaha...

01 September 2013. @ Hypermart Metro Indah Mall: Tentu saja bukan sedang bernegosiasi soal jurusan apa yang akan mereka ambil saat kuliah nanti. Ini negosiasi alot tentang mobil-mobilan mana yang boleh mereka beli. Ada yang pengen-nya 2, ada yang minta 3, bahkan ada yang pengen semuanya! Aih, mana bisa begitu? Ambil 1, atau tidak sama sekali! Oh yes, Nak. Selagi kalian masih numpang makan-tidur-main di rumah kami, kalian deh ya, yang musti ngikut aturan kami..! Huahaha… *sadis* πŸ˜†

Tergelitik, sekaligus tertampar baca jurnal si Mamak kece ini. (aku suka to the max postinganmu yang ini, Mak! πŸ˜€ ) Sampe sekarang, saya dan Baginda Raja memang belum pernah secara serius membicarakan soal profesi anak-anak kami nanti. Concern kami kan lebih pada BERAPA DUIT yang musti disediakan DARI SEKARANG kalo nanti mereka kuliah di PT(N) A, B, C dan lain-lainnya itu. πŸ˜€ Habisnya pas kemaren tahu berapa biaya yang dikeluarkan salah seorang tetangga untuk masukkin anaknya ke salah 1 PTN di Bandung ini, saya sumpah shock banget deh. Gilaaa, duit semua, ituuuu? Boleh nggak, sebagiannya pake daun? Daun telinga? :mrgreen: Hiks, pegimane nanti, let say 10 tahun yang akan datang? In our case, biayanya dikalikan 3 aja, gitu! Huhuhu… Dan terus ngiri sama orang yang anaknya cuma 1. :mrgreen:

Anyhow, secara sepintas pernah sih, ngenalin Andro (adik-adiknya masih jadi tim penggembira aja kalo udah ngomongin masa depan, hihi) ke profesi-profesi yang sudah terpampang nyata dan familiar aja dulu deh, di mata dia kayak polisi, dokter, guru, artis (???) dan tentu saja masih ditanggapi secara tentatif sama si boss kecil. Maksudnya, kalo liat iring-iringan mobil polisi dengan sirine meraung-raung minta jalan, -dan keliatan keren karena pasti bikin semua mobil di jalan minggir- kalo nggak mau diklaksonin sampe telinga pekak– ya doski pengen jadi polisi; kalo liat mobil keren dan bikin mata melotot saking takjubnya, ya doski pengen jadi pengusaha (haha, untuk yang ini salahkan emak bapaknya yang selalu bilang orang kaya=pengusaha. Ya mana mungkin tho, PNS punya vellfire/ferrari/hummer..? πŸ˜€ )

Tapi pernah sih, secara mengejutkan dia bilang pengen kerja kayak Ayah dan Ibu. Hah? Kenapa? Biar bisa punya mobil dan rumah, katanya. Huahaha…! Hoalah, Bang. RumahΒ mungil dan mobilΒ sepuluh juta ummat ini kan kami cicil tiap bulan, Nak. Nggak serta merta turun dari langit. Dan kami ini sayang sekali loh padamu, sampe-sampe kami pengen pas kamu besar nanti, bisa lah beli rumah dan mobil TUNAI! Jangan ngutang macam kami iniiiii…! :mrgreen: Atau mungkin, karena pekerjaan kami ngumpulin uang buat bayar gajiΒ  PNS, polisi, membangun jembatan, sekolah, sarana jalan dan lain-lain itu terlihat sangat mulia dan keren (???) di mata si boss kecil? Haha, iya! Mungkin! Pekerjaan apa sih, yang lebih keren daripada menggaji polisi ya, Bang..? πŸ˜†

Dan pekerjaan kami sekarang ini, ehm.. gimana ya. Dibilang enak, ya enak lah. Minimal dengan gaji dan tunjangan yang kami terima saat ini, kami bisa dengan leluasa ngatur UTANG. Loh, kok utang? Lah, ya iya dong, kapanan nggak semua orang bisa dengan gampil dapet fasilitas kredit, yes? Sebagai PNS level prajurit, jangan mimpi lah, bisa beli rumah harga 100-200 juta tanpa utang, beli mobil baru tanpa kredit. Jadi mari bersyukur, bisa dengan gampil memanfaatkan semua fasilitas kredit yang ditawarkan secara marathon oleh para bank itu, betul? πŸ˜€

Tapi jujur nih ya, sebagai orang yang udah sepuluh tahun lebih bergelut di lingkungan pekerjaan ini, saya dan Baginda Raja mengharapkan A3 mendapatkan pekerjaan yang jauuuhhh lebih baik dari pekerjaan kami sekarang. Bukan, bukan karena kami kurang puas dengan pencapaian kami saat ini, (bilang nggak puas nanti takutnya jadi kufur nikmat, kan? πŸ˜‰ ) tapi lebih ke apa ya, ehm rasanya dunia ini terlalu luas untuk dilewatkan. Ada masih banyaakkk sekali tempat dan kesempatan yang terbentang di luar sana, menunggu untuk dieskplore, untuk ditaklukkan. Masih ada banyaaakk sekali rupiah, dan dollar (dan euro? dan real? πŸ˜‰ ) yang bisa diburu, hahaha..

Iya, memang nggak bijaksana ya, mengukur tingkat kesuksesan dan kebahagiaan seseorang dari berapa banyak duit/harta yang dia punya. Tapi menurut saya, kalo bisa sukses, bahagia dan punya duit banyak DENGAN CARA YANG HALAL : kenapa nggaaaaakk…? Hahaha… *teuteuppp* πŸ˜†

Soal duit yang berhubungan dengan pekerjaan ini, kadang jatuhnya emang jadi sensitif banget deh, ya. Terus terang, saya pernah loh, rada nyolot ke salah seorang sepupu Baginda Raja yang kerja di salah satu pabrik garmen di daerah Dayeuhkolot sana, karena waktu itu dengan entengnya dia bilang: ” Ooohh.. kalian kerja di Paj*k ya. Waktu itu ada, tuh. Orang dari Paj*k yang dateng ke kantor, minta duit…” Dan ngomongnya di acara keluarga yang lumayan banyak orang. Saya ini bukannya mau membabi buta membela institusi ya, tapi mbok yao lihat-lihat lah kalo mau komen sesuatu. Siapa yang diajak bicara, ada siapa aja disitu, pantes nggak ngomong begitu. Jujur, waktu itu saya langsung protes keras (ke Baginda Raja, lah. Masa’ ke ibu mertua? πŸ˜† )Β  Maksud saya, orang Paj*k yang ‘kantor-nya’ dimana? Sekarang banyak lho, orang yang ngaku-ngaku dari kantor Paj*k! Beneran! Jadi, kalo emang ada oknum Paj*k yang minta-minta duit, tinggal catet namanya, catet identitas pegawainya, trus laporin deh. Se-sederhana itu? Iya, se-sederhana itu, kok. So, kalo nggak tahu duduk perkara yang sebenernya, jangan langsung komen, deh. Daripada bikin sakit hati orang, betul tidak..? *Aa Gym mode on* πŸ˜€

Omong-omong, di instansi manapun, pemerintah/swasta, yang namanya okum itu akan selalu ada. Katanya sih, karena ada permintaan, makanya ada penawaran. Trus, karena ada penawaran, makanya ada permintaan..? πŸ˜‰ Eh tapi kan bukan berarti, ketika di Kepolisian ada ketangkep oknum seperti Irjen Djoko Susilo, maka berarti semua anggota POLRI itu koruptor, ya? Juga ketika di gedung DPR yang terhormat ada ketangkep Muhamad Nazaruddin, kan nggak berarti juga semua anggota dewan itu kelakuannya sama? Pun ketika di salah 1 bank swasta nasional, ada Melinda Dee yang tindak tanduknya bikin shock para nasabah, tidak serta merta kita nggak percaya lagi sama institusi perbankan, kan? Lalu gimana dengan bidan yang memperjual-belikan bayi-bayi, guru yang mem-bully anak didiknya, dokter yang melecehkan perawat-nya… 😦 Nggak usah jauh-jauh, deh. Saya sering tuh, liat oknum pegawai yang minta bon kosong waktu mereka makan di rumah makan. Ada? Banyaaakkk..! Tapi kan mana boleh, menyamaratakan semua orang yang ada di 1 institusi, hanya karena melihat satu-dua oknumnya, tho? Mana bisa kita men-judge negatif satu profesi hanya karena salah satu, dua, tiga orangnya melakukan tindakan kriminil..? Jadi setuju banget sama Mamak Sondang: dalam setiap profesi yang halal, ada banyak orang yang baik, yang jujur, yang bekerja keras, yang nggak makan gaji buta, yang mau doing the extra mile.

Makanya saya pasang badan deh, kalo ada yang bilang semua pegawai De-Je-Pe itu kayak Gay*s. Iiih, sampeyan pasti belum ketemu saya. Rumah saya di ujung Bandung kalo nggak boleh dibilang kampung ngutangnya 10 tahun, mobil emang baru, tapi kredit 3 tahun dan megap-megap bayar cicilannya, pernah ditipu mentah-mentah sama pemborong gila yang ngerenov rumah, sampai pontang panting kepala jadi kaki, kaki jadi dengkul, nutup utang sana sini. *curcol abissss* :mrgreen: Sampeyan juga pasti belum ketemu ya, sama puluhan ribu pegawai De-Je-Pe lain yang rumahnya masih ngontrak, motor-nya nyicil, pusing 7 keliling 8 putaran karena musti itung-itungan sampe njlimet waktu mau bayar uang pangkal sekolah anak-nya, stress setengah mati waktu mau bayar tagihan RS anak/istrinya yang cuma di cover sekian ribu perak sama Askes. Jadi, pikir-pikir dulu ya Pak/ Bu sebelum ngomong! πŸ˜‰

Karena itu, mari belajar dari sekarang untuk berbaik sangka sama orang, APAPUN profesinya. Ketika melihat seorang polisi menilang pengendara bermotor misalnya, daripada bilang : “nah lhoooo.. kena berapa tuh?” mendingan juga bilang: “betul pak Polisi, tilang tuh kalo ada yang melanggar. Biar nambah kas negara kita…” Eh, atau kalo kalimat itu terlalu panjang untuk diucapkan, ya mending diem aja deh, biar aman. πŸ˜† Pokoknya ingat-ingat saja, ada sponge mini berjalan yang menyerap dengan sangat cepat, dan lalu meniru dan mengikuti, apapun yang kita ucapkan, apapun yang kita lakukan, bahkan (kadang-kadang) apapun yang kita pikirkan! *lirik sayang A3* πŸ˜€

Dan oh, jangan lupa rajin-rajin berdo’a, semogaaaaa para junior(s) kita nanti dilancarkan dan dimudahkan semua urusannya, menjadi orang yang menikmati pekerjaan-nya, dimuliakan jodoh dan keturunan-nya, sukses dunia akhirat-nya, bahagia lahir bathin-nya, banyak harta-nya (yang ini tentuuu pesan sponsor emaknya: nggak boleh ketinggalan dong, ah! :mrgreen: ) dan… jadi ahli surga! Aamiinnn…..! *du’a of the year* πŸ˜€

Three pedals, or two pedals..?

familiar, dengan perang sticker macam ini...? :lol:

familiar, dengan perang sticker macam ini…? πŸ˜†

Ngerasain nggak sih, jalanan sekarang jadi makin rame, semrawut, bikin pusing, dan maceeeettt dimana-mana..? Perasaan, tahun kemaren kondisi jalan masih rada cingcay, macet palingan hari Senin pagi doang (karena anak sekolah upacara jam 7). Nah belakangan ini, kenapa sih macet tiap hariiii…? Nggak pagi, siang, sore, bahkan kapan itu saya pulang kantor jam 8 malem, masih macet, loh! Yang sebel Jum’at pagi kemaren dong, saya telat, ngabsen pagi jam 07.31′.57” Periiihhhh…! *dadah-dadah ke tunjangan yang dipotong*Β  😦

Makanya, saya sih cuma bisa senyumΒ pahit , baca berita tentang kebijakan mobil murah yang sekarang mulai menuai pro dan kontra. Pak, harga mobil masih mahal aja, jalanan udah kayak neraka gini, gimana kalo ada tambahan mobil yang harganya kayak kacang goreng…? 😦

Tapi kalo boleh jujur nih, tingkat kepadatan jalan raya ini sedikit banyak dipengaruhi oleh makin canggihnya teknologi juga nggak, sih? Sok, sekarang. Makin banyak motor dan mobil matic, kan? Sori ya, bukannya mau nyinyir ke kendaraan matic, tapi sekarang ini asal udah bisa nginjek gas sama rem, orang udah pada berani tuh, bawa mobil/motor ke jalan raya, bahkan ke jalan propinsi yang rame-nya naudzubillah pula. Coba pake yang manual. Uh, bisa setahun ngumpulin nyalinya! *curcol* πŸ˜†

Jadi inget, motor pertama yang dulu saya pake latihan waktu SMP kelas 2 adalah Vespa model tua yang pantatnya selebar kulkas 2 pintu, dan itu belajarnya susaaahhh, DJ! Untung yang ngajarin mas Imam, kakak tersayang saya yang paling sabar. πŸ™‚ Begitu lumayan bisa, boro-boro PD ke jalan raya yang rame, jalan di kampung yang nggak ada lawan-pun, groginya setengah mati.

Lalu sekitar tahun 2002 (apa 2003, ya? Lupa!) saya belajar nyetir (resmi di tempat kursus) pake suzuki katana yang TENTU SAJA manual. (by the way, penasaran deh. Ada nggak sih, kursus stir yang mobilnya matic..?) Waktu itu les 2 minggu, tapi berhubung belum punya mobil, ya kemampuan nyetir mentok disitu doang. Lagian iseng banget ya, kursus nyetir padahal mobil aja belum punya, haha. Saya mulai membiasakan diri nyetir lagi ya setelah punya SIM di bulan Agustus 2011, (nembak, dong. Apa itu ujian SIM..? πŸ˜† )Β  itu-pun masih angot-angotan karena kan masih ada si bontot yang harus disusuin. Jadi bisa dibilang, karier (eh cie, karier nih, ye? πŸ˜† ) nyetir saya baru dimulai di tahun 2013 ini. Drama-nya? Banyaaaakkk..! Dari yang nggak bisa keluar dari carport rumah sendiri (karena ada tetangga yang parkir di depan rumah) sampe dibantuin orang yang lewat; mesin mati di tanjakan (drama klise mobil manual); pecah konsentrasi gegara ada yang ngamuk minta nyusu *pelototin si bontot* trus melototin sopir taksi karena seenak sendiri nyerobot antrian persissss di depan hidung saya πŸ˜† dan masih banyak lagi drama lain yang bikin senyum kalo diinget-inget sekarang. Trus, udah canggih dong sekarang nyetirnya, Bu? Kata siapaaaa…? Sampe sekarang saya masih milih-milih tempat tujuan tuh, kalo mau nyetir. Inget dulu baik-baik, parkirnya gampang apa nggak, ada petugas parkir yang siap bantuin apa nggak…? Kalo parkirannya susah? Ish, mending no-no-no ajaaa…! πŸ˜€

Well, kalo boleh milih nih, sampe ini hari saya masih lebih seneng duduk di kursi penumpang, daripada musti nyureng stress liat jalanan yang sekarang, ampuuunn Ndoro!! Ruwet !!! Jadi kemampuan nyetir yang alakadarnya ini cukup dipake ketika Baginda Raja diklat aja, lah. Atau pas beliau harus rapat, dan nggak bisa ngedrop/jemput anak-anak ke daycare, atau pas beliau sakit. Pokoknya khusus di sikon tertentu aja. Tapi musti diakui sih, bisa nyetir (saya ketik BISA ya, bukan jago πŸ˜† ) buat emak ber-anak 3 macem saya ini anugrah! Paling tidak, saat Baginda Raja berhalangan dan saya musti pergi bawa 3 bocah, nggak perlu ngeluarin duit ekstra buat bayar taksi -iya kalo ada duit, nah kalo pas tanggal tua? Gigit dompet aja karena musti naik angkot- πŸ˜†

nampak (sok) keren? Iya lah. Suaminya moto dibawah tekanan, ituuu...! :lol:

3 pedal, dong! Haha! Nampak (sok) keren? Iya lah. Suaminya ngambil gambar dibawah tekanan, ituuu…! πŸ˜†

Anyway.. balik ke soal kendaraan matic. Ini postingan BENERAN bukan mau nyinyir ke anggota PBM=Pasukan Berani Matic, ya. Lah gimana mau nyinyir, wong saya baru bisa nyetir yang manual. Kalo udah bisa (DAN PUNYA?) yang matic, boleh kali ya sesekali nyinyir..? :mrgreen:

Eh tapi, pernah nggak sih, kepikiran seandainya di dunia ini nggak ada kendaraan matic? Seandainya, semua motor dan mobil itu manual? Mungkin, MUNGKIN loh ya, jalanan nggak akan seramai sekarang. Bukannya apa-apa, tapi naik mobil/motor manual itu kan nggak segampang naik yang matic. Menyelaraskan 3 pedal: gas, rem dan kopling itu kan butuh proses belajar yang nggak sebentar, kakaaakkk! πŸ˜‰ Nah coba sekarang, anak bocah umur belasan tahun, juga nenek-nenek/kakek-kakek yang seumur-umur belum pernah belajar nyetir aja, asal dikasih yang matic pada berani tuh, turun ke jalan raya. Coba pake yang manual. Uuuhh, nemu tanjakan dikiiiit aja, dijamin banjir keringet dingin! *pengalaman pribadi* πŸ˜†

By the way… pas istirahat hari Jum’at minggu kemaren, ceritanya Baginda Raja diajak bossnya ke Balubur Town Square (Baltos). Nah di parkiran, ada ibu-ibu gaul (IG) yang nyetir sendiri Honda Freed-nya gitu. (CMIIW, tapi setahu saya Honda Freed nggak ada yang manual, ya?). Baginda Raja dan bossnya ini kebetulan masuk ke area parkir persiiiiss di belakang si IG ini. Dari belakang sih udah keliatan kikuknya si IG bawa mobil. (suka ketahuan kan ya, mana sopir ahli mana sopir amatir? πŸ˜† ) Nah, waktu mereka beriringan nyari parkir gitu tetiba mobil si IG ini tekor dong pas belok, jadi doski musti mundur dulu kalo nggak mau bagian depan mobilnya nyusruk (halah, bosone! πŸ˜† ) kena pembatas. Eh, si IG itu langsung teriak, nyuruh Baginda Raja dan bossnya mundur. Trus masih sempet-sempetnya doskiΒ teriak bilang (kurang lebih) begini: “Bapak sih, dari tadi ngedeketin saya mulu. Jangan terlalu deket sama saya, dong. Kan saya jadi susah, nih…!” Laaahhh, situ yang amatir, kenapa orang lain yang disalahin, yak? πŸ˜† Tapi bossnya Baginda Raja itu baik sih, jadi akhirnya mereka ngalah, trus mundur dulu, deh. Kata beliau sih maklumin aja lah, ibu-ibu gitu loh. Soalnya beliau takut juga, kalo di jalan ternyata istrinya juga sama kayak si IG itu, hihi. Nah entah gimana ceritanya, pokoknya Baginda Raja dan boss-nya justru dapet parkir duluan, trus pas mereka turun dari mobil, si IG ini baru nemu tempat parkir… dan karena keliatan banget kikuknya… ujung-ujungnya.. dibantuin parkir dong, sama baginda raja dan bossnya. Huahaha…

Yah, jadi gitu deh. Mau 3 pedal, 2 pedal, yang penting bertanggung jawab di jalan raya ya, ibu-ibu… Jangan gampang kesulut emosi dan provokasi. Inget, anak-anak dan suami nungguin di rumah. πŸ™‚

Ps: jangan timpuk saya ya, para Pasukan Berani Matic! Err.. kecuali.. kecuali… saya boleh pinjem mobilnya: sebulaaannn aja..! :mrgreen:

Surat untuk seorang kawan

Dear, Puspa…

Sudah lama ya, kita tak bertemu? Dari berita terakhir yang kudengar, sekarang kamu sudah punya 5 junior, ya. Wah, kalah telak nih, aku. Gimana kabar mereka? Aku selalu berdoa semoga ALLAH selalu melindungi kalian. Uhm, sebenernya males nanyain ini, tapi… aku bener-bener penasaran. Gimana dengan suamimu, si Dursasana itu? Sori ya, aku panggil suamimu dengan sebutan itu. Mau gimana lagi? Kelakuannya emang sebelas dua belas dengan Dursasana, kok. Suka merendahkan derajat perempuan. Tapi jujur sih, aku memang sudah nggak inget siapa nama aslinya. Yang kuingat hanya tampang (sok) tanpa dosanya, ketika kami bertemu untuk pertama kalinya dulu. Kalau saja aku tak lebih dulu mengenalmu, aku mungkin akan seperti kebanyakan orang yang lain, Pus. Terkecoh pada penampilan perlentenya sebagai dosen di salah satu PTN ternama di Bandung ini.

Iya, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati, siapa yang tahu? Orang mungkin nggak akan percaya, kalo Dursasana, suamimu itu, yang tampangnya intelek, sopan dan nampak alim itu, (haha, alim? Padahal menurutmu, sholat 5 waktu saja dia suka lewat kan, Pus?) menyimpan penyakit yang -entah kenapa aku merasa- nggak akan mungkin bisa diobati.

Apa ya, nama penyakit yang cocok disandangkan padanya? Seorang laki-laki yang:

  1. SETIAP JAM menelponmu hanya untuk menanyakan dengan kadar curiga tertinggi: ada/nggak, LAKI-LAKI di sekitarmu; (oke, menelpon setiap jam mungkin masih bisa diterima, Pus. Tapiiiii… mencurigai ada laki-laki di sebelahmu yang jelas-jelas sedang sholat Dhuha di mesjid kantor, sampe-sampe temen kantor yang sedang sholat kamu suruh ngomong, hanya demi untuk menjawab kecurigaan suamimu: keterlaluan banget nggak sih, Pus? Bahkan urusan pribadimu dengan Sang Pencipta saja, dia curigai…! 😦 )
  2. Menyangsikan ke-2 anak kalian (waktu itu kalian baru punya 2 buntut kan, ya?) sebagai darah dagingnya, dan meminta melakukan test darah, HANYA KARENA menurut dia, wajah mereka berbeda dengan wajahnya; (padahal semua orang yang melihat mereka ber-2 dengan mata telanjang pun, sepakat, wajah anak kalian itu 100% mirip bapaknya!)
  3. Mencurigai setiap teman kantor yang mobilnya kamu tumpangi, padahal selama kamu menumpang, nggak pernah sekalipun kalian jalan ber-dua. Selalu ada teman PEREMPUAN lain yang juga ikut menumpang;
  4. Main fisik. Mukul. Gampar. Nampar. Nendang. DAN BERULANG-ULANG KALI, DAN dilakukan DI-RU-MAH ! Puspa, bahkan sampe detik ini, aku masih saja nggak bisa, ngebayangin seorang istri dihajar habis-habisan sama suami di depan anak-anaknya yang masih balita. 😦

Aku masih ingat, dengan semua lebam-lebam di wajahmu, yang selalu coba kamu tutupi dengan jilbab lebarmu itu. Sebagai seorang teman yang sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya, hatiku pediiiihhh sekali.

Bagaimana bisa, muslimah solehah sepertimu, bersuamikan monster tak berperikemanusiaan seperti Dursasana..?

Bagaimana bisa, kamu Puspa, perempuan bergamis panjang, berjilbab lebar, yang boro-boro salaman dengan laki-laki: menatap mata mereka saat bicara-pun, kamu nggak pernah mau; DICURIGAI sedemikian rendahnya oleh suami sendiri..? Oleh laki-laki yang harusnya menjaga harga dirimu, menjaga martabatmu, menjunjung tinggi kehormatanmu…?

Sungguh, waktu itu aku marah, sekali. Sebagai perempuan yang sudah mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, kamu benar-benar seperti tidak ada harganya di mata Dursasana. Kamu muslimah yang taat, ibu yang baik, istri yang penurut, menghasilkan uang dalam jumlah yang lumayan karena kamu juga bekerja. Apalagi yang kurang? Nggak ada. Suamimu memang sakit. Pahit memang, tapi harus diakui begitulah kenyataannya. Aku masih ingat ceritamu, tentang rapat keluarga yang bolak-balik diadakan oleh keluarga kalian, dan disitu suamimu pasti menangis-nangis, memohon supaya diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, tapi begitu rapat selesai dan semua keluarga sudah pulang ke kota mereka masing-masing, dia kembali menjadi monster yang seakan-akan tak pernah puas menyiksamu.

Aku bukan termasuk orang yang antipati dengan proses Ta’aruf, Pus. Begitupun dengan ta’aruf yang menurutmu kalian lakukan sebelum kalian menikah dulu. Bagiku, ta’aruf itu indah, selama orang-orang yang menjalaninya juga indah. Tapi, kalo kondisinya berakhir begini, siapa yang salah? Dia, Puspa! Bukan kamu! Dia yang sakit! Bukan kamu! Tapi kenapa, lambat laun, aku melihatmu sedikit demi sedikit tertular sakit juga? Aku masih ingat kata-kata seorang psikolog: jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, di kekerasan yang pertama dan kedua, pelaku KDRT itu-lah yang salah. Tapi ketika KDRT itu terjadi BERULANG-ULANG, maka ada andil korban disitu: kenapa membiarkan kekerasan itu terjadi lagi, lagi dan lagi?

Allah membenci perceraian, Puspa. Tapi DIA tidak melarang, jika memang itu yang terbaik untuk ummat-NYA. Aku kasihan bukan hanya padamu. Sebagai ibu, batinku berontak nggak terima mengingat anak-anakmu yang masih kecil itu. Akan seperti apa mereka saat besar nanti, jika setiap hari yang dilihat adalah pertengkaran demi pertengkaran, makian-makian, tamparan, pukulan dan tangisan sedih ibunya…? 😦 Kamu ngerti kan, ibu yang bahagia akan membesarkan anak-anak yang bahagia, dan berlaku pula sebaliknya…?

Dulu, aku percaya, kamu sudah membulatkan tekad untuk berpisah dari Dursasana, walaupun sempat ada keraguan karena dia mengancam akan mengambil anak-anak kalian jika kamu tetap nekad mengajukan cerai;

Dulu, aku percaya, kamu cukup berani untuk mengambil tindakan tegas, mengakhiri semua penderitaanmu, semua penderitaan anak-anakmu;

Dulu, aku percaya, kamu cukup cerdas untuk mengambil langkah hukum atas semua yang sudah dilakukan suamimu…

Tapi itu dulu, Puspa.

Seiring waktu, aku makin tak tahu, apa yang sebenarnya kamu cari. Cinta? Aku yakin, itu bukan alasanmu. Bagaimana bisa, kamu cinta pada seseorang yang hidupnya hanya diisi untuk menyakiti dan membenamkanmu pada titik terendah, sampe-sampe sulit untuk membedakan posisi-mu dengan binatang…? Lalu apa? Ladang pahala? Menerima semua siksaan verbal dan non verbal itu setiap hari? Ah, Puspa… Masih banyaaakkk sekali pahala yang bisa kamu kejar, dari ladang yang lain. Bukan ladang yang ini.

Puspa, bahkan sampe hari inipun, aku nggak pernah tahu, apa yang akhirnya membuatmu mundur, dan memilih untuk tetap bersama monster itu. Aku juga nggak pernah habis pikir, bagaimana bisa sekarang justru kalian mempunyai 5 anak..? Bagaimana bisa…?

Entahlah. Aku masih tetap tak mengerti. Namun pada akhirnya, aku harus setuju dengan salah satu kalimat yang kutemukan beberapa hari lalu di jurnal Maya:

pinjem dari blognya Maya

Maaf ya, Puspa…

Aku harus menyerah padamu. Meskipun hati kecilku tak mau, tapi bagaimana bisa, aku memaksakan sesuatu (yang kuanggap baik) padamu, sementara di sisi lain, kamu sendiri sudah tidak perduli lagi…?

Semoga ALLAH selalu melindungi kamu dan anak-anak. Do’a untuk suamimu? Well, meskipun ragu, tapi sebenernya aku masih berharap dia sudah berubah. Demi kamu, demi anak-anak kalian. Tapi kalo ternyata tidak: suruh pergi saja dia ke neraka!

Ps: Nama-nama di dalam postingan ini fiktif belaka. Tapi sayang seribu sayang, semua kejadiannya adalah kejadian nyata. 😦

Keajaiban itu bernama Jejaring Sosial

Gara-gara komentar di postingan Luluk yang ini, tangan saya jadi gatel buat posting tentang beberapa fakta (eh cie.. fakta? πŸ˜† ) yang akhir-akhir ini saya temui di kancah per-jejaring sosial-an dan membuat mata terbelalak menyadari betapa terkudeta-nya statusisasi kita sekarang. Aduh, mulai ketularan Vicky Prasetyo! πŸ˜†

1. Facebook

Ini puber pertama saya di dunia maya. Lupa, kapan pertama kali saya buka akun di FB. Yang jelas, saya ketemu banyaaakkk sekali teman lama disini. Dari temen SD, SMP, SMA, sampeΒ  temen-temen kuliah dan mantan pacar. πŸ˜†Β  Pertama-tama buka akun, sempat lah, norak segala macam status dan foto di pamer share. Trus pernah juga ngerasa sebel karena ada beberapa oknum yang dengan se-enaknya nge-tag jualan mereka tanpa ijin terlebih dulu, dan lalu dengan enteng nulis “sorry for tagging, feel free to remove” Ish, gondok! Juga sempat ngelus dada, liat temen (cewek) yang ngubah status-nya dari married menjadi its complicated, dan kemudian dikomen nyaris semua temennya. Ya ampuuunn…! Seus, bukan cuma dirimu, yang bermasalah sama suami/mertua/ipar. Tapi kan nggak berarti SELURUH DUNIA harus tahuuuu…? Anyway, makin kesini kok saya jadi makin males buka FB, ya. Berasa udah nggak nemu seru-nya lagi, euy! πŸ™‚

2. Blogspot

Duluuuu banget, pernah bikin blog abal-abal di blogspot. Cuma beneran buat diari sendiri aja. Saya nggak pernah berani komen di blog orang pake ID blog itu, secara blog saya asli cupu pisaaaaan. Tukeran link blog cuma sama Lisa, sahabat tersayang saya di jakarta sana. Itu pun cuma karena dengan baca blog masing-masing kita jadi tahu, apa yang kita lakukan sehar-hari, secara ya.. nggak mungkin juga kalo chatting tiap hari. Habis kalo chatting sama doski susaaahhh banget berhentinya. Bisa digorok saya sama bu Jendral gegara asyik chatting dan lupa kerja. :mrgreen:

3. Twitter

Saya musti ngaku. Saya ini gaptek. Akut! Tapi hasrat eksis gede. πŸ˜† Jadi itu lah jawaban kenapa saya sok-sok gaya buka akun di twitter… tapi… karena kegaptekan itu, akhirnya si akun twitter nggak pernah dibuka… sampe sekarang… lupa passwordnya. Huahaha…. *ketawa tengsin* πŸ˜†

4. WordPress

Ini siiihhh… cinta mati saya. Sejak memutuskan untuk menutup blog di blogspot, saya langsung beralih ke wordpress ini. Pelan-pelan saya mulai membuka hati diri, sok PD ‘nyampah’ di blog orang dan masukkin link blog saya. Dan ketika ada yang berkunjung balik, rasanya.. luar biasa! πŸ™‚ Di kolom komentar salah satu postingannya, blogger favorit saya, Jihan Davincha, pernah minta maaf karena katanya jarang (nggak pernah) komen di blog saya, tapi dia mengaku sebenernya suka juga kok, blogwalking ke blog saya. And you know what? I dont mind at all! Seriussss…!

Iya sih, kalo ada yang komen di blog kita itu rasanya seneng! Selain usaha nulis kita (rasa-rasanya) dihargai, juga karena dengan begitu kita dapet feedback. Iya kan? Berbagi pengalaman dengan orang lain yang cuma kita temui di dunia maya itu kan tidak ternilai. Tapiiiiii… kepuasan saya menulis eh, mengetik itu bukan terletak pada berapa banyak/siapa yang ninggalin komen di kolom komentar, kok. Jadi terletak dimana? Ya karena dengan nulis eh, ngetik, saya bisa ngeluarin semuaaaa uneg-uneg dalam hati, pikiran-pikiran yang susah dikeluarin lewat mulut, impian-impian yang (mungkin) mustahil diwujudkan, dan lain-lain. (gaya banget, pake bahasa dan lain-lain segala, padahal sih emang udah nggak bisa nemuin dan lain-lain-nya itu πŸ˜† )

Anyway, di wordpress ini saya jadi kenal beberapa orang yang -entahkenapa- masuk ke dalam daftar orang-orang yang jauh di mata, tapi deket di hati saya. Haha, bingung? Samaaaa… ! *tidak membantu* πŸ˜†

Yang seru, karena WordPress ini juga lah, untuk pertama kalinya dalam sejarah, saya ketemu dengan temen-temen yang sudah bertahun-tahun kerja di instansi yang sama tapi belum pernah ketemuan secara formal (ber-4 ya. Kalo ketemu sendiri-sendiri sih pernah, lah) dan bulan kemaren dong, niaaattt banget kopi darat kitaaa… πŸ™‚ *lirik mbak Tituk, Mak Sondang dan mbak Titi*

ki-ka: Nyonya Sutisna, Baginda Ratu, Ummi Titi dan Mamak Sondang :D

@ Sari-sari. Ki-ka: Nyonya Sutisna, Baginda Ratu, Ummi Titi dan Mamak Sondang πŸ˜€

5. Instagram (IG)

Ini puber terbaru saya, dong. Pertama kali buka akun di IG tanggal 24 April 2013. Kok inget? Ya kan bisa diliat dari foto pertama yang saya pamerin…? πŸ˜‰

Menurut saya, penemu IG ini canggih, sekali. Dia tahu banget, sejatinya semua orang itu butuh eksistensi dan aktualisasi diri. Bukan cuma statusisasi *ter-Vicky* πŸ˜† Alih-alih nge-pos-in status macem di FB, di IG ini -kalo lagi males- kita nggak perlu pusing mikirin kalimat apa yang mau kita ketik. Cukup upload foto.. tadaaaa…! Mejeng deh tuh, foto ciamik kita di dunia maya. πŸ™‚

So far, saya baru mem-follow 148 orang (sebagian temen kantor, sebagian temen blogger, sebagian lagi hijaber icon, sebagiannya lagi… online shop! πŸ˜† ) dan saya baru di follow 72 orang. Lumayan kan, ya? Lumayan nggak terkenal, maksudnya. :mrgreen:

Anyhow, seperti yang saya bilang di postingan Luluk, sampe sekarang saya masih penasaran loh, kenapa sih adaaaa aja orang yang memohon-mohon untuk di follow balik (terutama ke seleb, ya!) :

“kak, Folbek dong.”

“plis, folbek aku yaaa”

“folbeknya dong kakak!”

Aiiihhhh…! Apaan, cobaaaa…?

Menurut saya, begitu kita mem-follow seseorang, baik dia orang biasa ato seleb yang terkenal sampe ke langit 7 (???) sekalipun, apa hak kita, minta dia follow back kita…? Sama kayak kita ngamatin orang karena kita suka liat dandanannya, trus maksa dia ngeliatin kita juga. Lah, dimana… logikaaaaa…? *nyanyi fals* πŸ˜†

Sama seperti kalo saya mem-follow blogger di wordpress, itu murni karena saya suka baca postingan-postingannya (dan berharap dapet ilmu baru, tentu saja) bukan karena kepengen di follow balik. Kalo ternyata di follow balik, ya tinggal ngucap hamdalah. *pencitraan alert* Haha…

Oh ya, di IG ini banyak juga yang spamming jualan. Nggak salah menurut saya, wong namanya juga usaha cari rejeki. Cuma ya mbok cari cara yang elegan, gitu. Kebayang nggak sih, orang udah capek-capek ngedit trus ngupload foto ketje, disertai kalimat-kalimat asoy.. eh tetiba ada orang yang ucuk-ucuk dateng promoin dagangan. Saya pribadi sih masih lumayan respek sama penjual yang nge-like foto kita doang, jadi nggak pake acara spamming gitu, deh. Tokh nantinya kalo emang kita tertarik, kita bakal buka profil dia, kan?

Sejauh ini, ada beberapa hal menarik yang saya temui di IG:

  • orang yang spamming jualan di akunnya bu Ani Yudhoyono. Haha, cari matiiii…! πŸ˜†
  • hijaber yang ngetik “garing” di salah satu fotonya Ghaida Tsurayya (putri sulung AA Gym), salah satu icon hijaber (yang cantik dan kalem menurut saya) Kontan doski langsung diserang secara berjama’ah sama follower setianya Ghaida. Rasaiiinnnn!Β  :mrgreen:
  • suami istri berantem di akunnya Sarah Sechan, gegara si suami nge-fans berat sama SarSech trus istrinya nggak terima gitu. Haha, yang ini EPIC!
  • seleb yang paling dipuja sekaligus dibenci: Syahrini. Doski paling hobi pamer share foto-foto sepatu, tas (beberapa disertai struk pembelian, hahaha) berlian, baju-celana-jaket ber-merk (yang sumpah, kalo bukan karena doski, saya nggak pernah tahu merk itu ada! πŸ˜† ) lalu perjalanan mewah keluar negeri. Berlebihan? Mungkin. Tapi, itu kan hak dia…? Akun-akun dia, duit-duit dia.. terserah dia kan, mau dibelanjain apa..? Kalo nggak suka liatnya, ya jangan di follow, toh? Gitu aja kok repot…. *sok kalem terus ditimpuk para haters* πŸ˜†
  • seleb yang paling rajin bales komen (so far) : Jane Shalimar. Dia salah satu seleb yang udah berhijab sekarang, dan rajiiinnn banget balesin komen-komen follower-nya dengan ramah. Buat saya, itu sih poin plus, ya… πŸ™‚

Jadi… ini kesimpulannya apaan, sodara? Nggak ada, dong. Kan udah saya bilang.. postingan ini cuma buat ngilangin gatel tangan doang. Hahaha…

9 tahun…

Sejak menikah DAN punya juniors, rasanya jadi susaaaaah banget foto ber-2. Saking pengennya foto ber-2 saja, mumpung si tengah dan si bontot lagintidur, curi2 deh kita fofotoan di lampu merah. Oh, dan tolong abaikan minnion di tengah kami. Itu kerjaan si sulung yang keukeuh pengen Kevin kesayangannya ikut mejeng juga. Zzzzz...

Sejak menikah DAN punya juniors, rasanya jadi susaaaaah banget foto ber-2. Saking pengennya foto ber-2 saja, mumpung si tengah dan si bontot lagi tidur, curi-curi deh kita, fofotoan di lampu merah. Oh, dan tolong abaikan minnion di tengah kami. Itu kerjaan si sulung yang keukeuh pengen Kevin kesayangannya ikut mejeng juga. Zzzzz…

Awal sebuah cerita:
Saya lupa, kapan tepatnya saya melihat beliau di kampus kami. Tapi begitu melihatnya, saya tahu.. selain sosok jangkungnya, ada hal lain yang membuatnya tampak istimewa di mata saya. Rajinnya beliau sholat tepat waktu, dan meninggalkan teman2nya yang sedang asyik ngobrol di kantin? Mungkin. Cara bicaranya yang tenang? Mungkin. Pengetahuannya yang di atas rata-rata? Mungkin. Gaya berpakaiannya yang sederhana? Mungkin. Yang jelas, saya tahu, saat berbincang dengannya, saya tidak perlu pusing memikirkan hal lain. Saya cukup menjadi diri saya sendiri.

03 September 2003:
Untuk pertama kalinya kami pulang kuliah berdua, JALAN KAKI melewati gedung sate, gasibu, dan menerobos kerumunan orang yang menonton konser Padi. Ngobrol santai di Sindang Reret Gasibu, dan dengan santainya saya tutup hidung di depan beliau yang sedang asyik merokok, trus waktu beliau tanya: “kenapa?” Saya jawab dengan enteng: “nggak apa2.. saya nggak suka aja, sama asap rokok…. “ Dan tanpa bicara lagi beliau langsung mematikan rokok yang baru beberapa menit dinyalakannya. πŸ™‚

04 September sampai dengan 08 September 2003:
Janjian setiap pulang kuliah makan malem berdua, dengan menu2 awal resto dan cafe, lalu selanjutnya melipir ke warung2 tenda pinggir jalan. Haha, mulai bokek nih, yeeee… πŸ˜†
Dan selama seminggu itu, saya dijudesin seseorang di kampus kami yang TADINYA nempellll terus ke beliau. Istri? Bukan! Pacar? (katanya) juga bukan. Ya sudah, saya cuekin aja… Drama lain? Ada seseorang yang katanya jedot2in kepalanya ke tembok gegara ‘ditinggal’ dan ada seseorang (lagi) di suatu tempat lain yang patah hati, karena diputusin sepihak. Saya jahat? Iiihhh, saya kan nggak merebut suami orang, dan saya cukup percaya waktu beliau bilang status 3 orang itu bukan pacar. HTS-an? Mungkiiiiinn… ! But sorry ya, girls. The man is mine…. *evil laugh* πŸ˜†

09 September 2003:
Beliau mendeklarasikan BERHENTI MEROKOK, dan itu TANPA SAYA MINTA. Cinta? Well, you tell me! πŸ™‚

11 September 2003:
Di salah 1 cafe di daerah Dipati Ukur, beliau melamar saya. As a wife. Bukan sebagai pacar. No diamond ring, no down on his knees. He just asked me, and I said yes. As simple as that. Tapi hatiku membuncah bahagia! πŸ™‚

11 September 2004:
Ijab qobul di rumah saya, dalam bahasa Arab, mas Agus, kakak laki2 saya sebagai wali. Dengan mahar uang 1.192.004 rupiah, kami SAH sebagai suami istri. Alhamdulillah… πŸ™‚

13 April 2006: lahir si sulung;
05 Oktober 2008: lahir si tengah;
31 Oktober 2010: lahir si bontot.

Aaaaah, kurang baik apalagi coba, Allah sama saya? DIA kirimkan seseorang yang sejak DARI PANDANGAN PERTAMA, udah saya yakini akan menjadi pendamping hidup saya (oh yes, love at the very first sight does exist! πŸ™‚ )
Beliau kemudian menjadi kekasih, sahabat, suami, ayah, menantu, dan ipar YANG LUAR BIASA HEBAT, dan beliau selalu ada disana, meyakinkan diri saya segalanya akan baik-baik saja, BAHKAN di saat-saat genting ketika saya tidak percaya pada diri saya sendiri.

Bunga pertama (semoga bukan yang terakhir, haha) yang dikirim ke rumah, dan bikin estrinya tersipu2. Dan lalu estrinya secara nggak sopan kepikiran: aih, berapa ini harganya? Sayang tahu, duitnyaaaaa... huahaha...

Bunga pertama (semoga bukan yang terakhir, haha) yang dikirim ke rumah, dan bikin estrinya tersipu2. Dan lalu estrinya secara nggak sopan kepikiran: aih, berapa ini harganya? Sayang tahu, duitnyaaaaa… huahaha…

Terima kasih ya, Mas. Untuk 9 tahun yang luar biasa ini.
Aku menunggu keajaiban lain di 9 tahun ke-2, ke-3, ke-4 dan seterusnya yang akan datang nanti, dengan 1 keyakinan: kita akan berhasil melewatinya dengan baik, karena cinta adalah KITA…
(11 September 2004-11 September 2013)

Teparrrr…

Yang namanya sakit itu memang nggak enak, ya.
Kepala terasa beraaaattt, mata berair, dada sesak, tenggorokan gatal, suara serak, badan meriang, susah tidur… untung masih enak makan πŸ˜†
Lalu kenapa dong, ALLAH menciptakan sakit…?
Tentu saja supaya nantinya -di saat sehat- saya jadi ingat untuk sering2 bersyukur. Bukankah selain waktu luang, (nikmat) sehat adalah nikmat Allah yang paling sering saya lupakan…?

Kantor jelas bukan tempat ter-favorit, tapi rasa2nya saya lebih suka kalo hari ini saya duduk di meja kerja saya, beresin berkas, browsing2, trus cekikikan dengan gerombolan siberat itu… daripada bengong di kamar dan (mencoba) tidur tapi dengan kondisi yang se-nggak enak ini. Mana ada 2 bocah yang bolak balik minta dilayani pula… *pelototin si tengah dan si bontot* πŸ˜†

Salam tepar dari atas tempat tidur baru

#postinganmanja#biarinahnamanyajugalagisakit#sekiandanterimaparcel#orangsakitnggaktahudiri :mrgreen:

Si bontot (bagian 2)

Semalem, waktu ibunya lagi meringkuk di balik selimut gegara badan meriang tanda-tanda masuk angin:

” Yah, ayah… mobil (mobilan) ini belinya dimana…? “ suara si bontot kedengeran menimpali Baginda Raja yang lagi asyik ngobrol sama Dik Aji, adik ipar saya.

” Ooohh… mobil-mobilan itu beli di TOKO, sayang! ” lalu terdengar bapaknya meneruskan obrolan dengan Dik Aji. Di salah satu soal ujian sekolah Andro dulu –entah pelajaran apa, saya lupa- ada pertanyaan yang kurang lebih begini: dimana kita membeli mainan? Jawaban Andro : (toserba) YOGYA. Jawaban itu ternyata dianggap salah, karena jawaban seharusnya adalah di TOKO MAINAN. *ya elah Pak/Bu. Namapun anak kelas 1 SD, yang mereka hapal kan merk dagang-nya, bukan fungsinya?* πŸ˜†Β  Tapi dari sejak saat itu, kami membiasakan menyebut (toserba) Yogya/Griya/Hypermart dan lain-lain itu dengan istilah TOKO.

” Ooohhh… beli di Toko, ya….”

” Iya, sayang… Beli di TOKO. ” kirain udah ngerti, eh nggak tahunya doi nyambung lagi:

” Beli di… TOKO-YAKI…? “

Huahahaha…

Bapak dan om-nya langsung pada ketawa. Di dalam kamar, emaknya yang lagi setengah mati berusaha mejamin mata karena sakit kepala, nggak bisa nggak, ikutan ngakak.

” Kalo yang itu sih TAKOYAKI, sayaaanggg…! ”Β  πŸ˜†

*Ada yang belum tahu Takoyaki? Ini jajanan asal Jepang, dan belakangan jadi jajanan favoritnya si sulung, si tengah… dan… TENTU SAJA si bontot, – sang copycat sejati itu –Β Β  πŸ˜†

Amartha, 2 tahun 10 bulan. TOKO dan TAKO memang beda tipis ya, Nak... Sama kayak beda tipisnya NO-KIA dengan NU-KIE. huahaha...

Amartha, 2 tahun 10 bulan. TOKO dan TAKO memang beda tipis ya, Nak… Sama kayak beda tipisnya NO-KIA dengan NU-KIE. huahaha…